Minggu, 23 April 2017
Home »
#338A CASINO
,
#368BET
,
#Tangkasking
,
1S CASINO Tangkasnet
,
338A CASINO
,
agen bola & casino online
» Ketidaksempurnaan dalam Kesempurnaan Karier Kaka
Ketidaksempurnaan dalam Kesempurnaan Karier Kaka
berita lotus777 02.32 #338A CASINO, #368BET, #Tangkasking, 1S CASINO Tangkasnet, 338A CASINO, agen bola & casino online
LOTUS777 - Jika kebanyakan pemain sepakbola asal Brasil berasal dari keluarga yang tidak mampu, Ricardo Izecson dos Santos Leite, atau yang lebih dikenal dengan Kaka, mempunyai latar belakang yang berbeda. Ia berasal dari keluarga yang berkecukupan dan berpendidikan. Ayahnya adalah seorang insinyur dan ibunya merupakan guru sekolah dasar di Brasil.
Akibat dari kondisi latar belakang yang berbeda tersebut membuat Kaka tidak seperti kebanyakan pesepakbola Brasil yang bermain sepakbola di jalanan. Kaka langsung dimasukkan oleh orang tuanya ke akademi sepakbola Sao Paolo atas usulan seseorang yang melihat bakatnya. Selain itu, Kaka juga termasuk ke dalam pesepakbola yang sempat mengenyam pendidikan cukup lama. Terhitung selama 11 tahun Kaka pernah menempuh pendidikan di Brasil.
Namun, walaupun memiliki latar belakang yang berbeda dengan para pemain Brasil pada umumnya, Kaka tetap mampu menahbiskan dirinya sebagai salah satu pesepakbala terbaik yang pernah dilahirkan di negeri samba tersebut.
Berjaya Bersama AC Milan
Untuk mengarungi musim 2003/2004, AC Milan mendatangkan seorang pemuda asal Brasil berusia 21 tahun ke San Siro dengan mahar 8,5 juta euro dari Sao Paolo bernama Kaka. Pada saat itu, mungkin hanya segelintir orang saja yang pernah mendengar atau mengetahui nama tersebut. Karena saat itu ia merupakan bagian dari timnas Brasil di Piala Dunia 2002.
Kaka datang ke Milan di saat mereka baru saja meraih gelar Liga Champions 2002/2003. Dan kondisi skuat Milan pada saat itu sudah dipenuhi begitu banyak pemain bintang. Apalagi di posisinya kaka yaitu sebagai pemain yang berada di belakang dua penyerang atau berperan sebagai trequartista.
Dalam skema 4-3-1-2 milik Milan ketika itu, sudah terdapat seorang maestro asal Portugal bernama Manuel Rui Costa. Belum lagi adanya Clarence Seedorf yang juga mampu bermain di posisi tersebut.
Tentu tidak sedikit yang meragukan apakah Kaka akan mendapatkan tempat di tim inti Milan atau tidak. Apalagi ketika itu ia masih sangat muda dengan usia baru 21 tahun. Namun ternyata, pelatih Milan saat itu, Carlo Ancelotti, menaruh kepercayaan penuh kepada seorang Kaka untuk masuk ke dalam tim inti Milan.
Ia berhasil membuat Rui Costa merasakan hangatnya bangku cadangan.
Kepercayaan Ancelotti tersebut dibayar dengan penampilan gemilang oleh Kaka yang akhirnya membuat ia tak tergantikan di tim inti Milan. Kolaborasinya di lini tengah bersama Clarence Seedorf, Andrea Pirlo dan Gennaro Gattuso tak pernah bisa ditemukan penggantinya hingga sekarang oleh Milan.
Sejak kedatangannya, sedikit demi sedikit keberadaan Kaka di skuat Milan semakin vital, terutama ketika Andriy Shevchenko memutuskan untuk pindah ke Chelsea pada 2006. Dan pada saat bersamaan juga Milan terkena kasus pengaturan skor, Calciopoli.
Pada saat Milan sedang dilanda krisis seperti inilah sosok Kaka menunjukkan kualitasnya. Ia membuat para Milanisti (sebutan pendukung Milan) dengan cepat melupakan kepergian Shevchenko.
Kaka berhasil membawa Milan menjuarai Liga Champions 2006/2007 di saat banyak orang meragukan kualitas Milan pada saat itu yang ditinggal Shevchenko dan dihuni oleh para pemain yang sudah cukup tua untuk seorang pesepakbola.
2007 ini merupakan puncak kejayaan Kaka bersama Milan. Sebab, ia berhasil meraih semua gelar penting dari setiap kompetisi yang diikutinya bersama Il Diavolo Rosso (kecuali Coppa Italia).
Selain itu, Kaka juga mampu menahbiskan dirinya sebagai pemain terbaik dunia 2007. Ia berhasil menyabet gelar pemain terbaik dunia FIFA dan Ballon d'Or. Pada saat itu, Kaka berhasil mengungguli dua mega bintang sepakbola saat ini, Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi.
Keberhasilannya ini juga membuat ia menjadi pemain terakhir yang meraih gelar pemain terbaik dunia sebelum akhirnya hanya dikuasai oleh Ronaldo dan Messi saja secara bergantian hingga kini.
Setelah 2007 ini, Kaka masih tetap menunjukkan kemampuan terbaiknya. Namun sayangnya, Milan mulai dilanda berbagai masalah seperti krisis finansial dan kondisi para pemain utama Milan semakin uzur membuat mereka tampil tidak terlalu konsisten lagi.
Hingga akhirnya hubungan mesra yang terjalin antara Kaka dengan Milan harus diputus secara paksa akibat dari krisis finansial yang menimpa klub semakin menjadi-jadi. Kebutuhan akan dana segar, membuat Milan tak berpikir dua kali saat Real Madrid menawarkan uang sebesar 65 juta euro untuk bintangnya tersebut.
Walaupun bisa saja menolak tawaran tersebut, Kaka akhirnya terpaksa menerima kepindahan ke Madrid. Demi membantu keuangan Milan yang sedang memburuk.
Karier yang Tidak Berjalan Mulus di Real Madrid
Bergabungnya Kaka ke Real Madrid adalah bagian dari rencana Florentino Perez membentuk The New Galacticos. Kedatangan Kaka berbarengan juga dengan kehadiran seorang Cristiano Ronaldo di Santiago Bernabeu yang memecahkan rekor transfer dunia saat itu.
Kehadiran Kaka di Madrid ini tentu diharapkan dapat menularkan daya magis yang ia tunjukkan bersama Milan. Namun pada kenyataannya, Kaka tidak mampu menampilkan permainan seperti yang ia tunjukkan ketika bersama Milan.
Kaka memang masih mampu membukukan gol dan asis yang terbilang cukup banyak. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan kondisinya saat berada di Milan, tentu hal tersebut bisa dikatakan cukup berbeda.
Faktor cedera yang sempat beberapa kali menghinggapinya memang membuat permainannya sedikit menurun. Ia juga harus kehilangan begitu banyak pertandingan akibat cedera tersebut. Selain itu, ketidakcocokannya dengan taktik yang digunakan oleh pelatih Madrid ketika itu, terutama Jose Mourinho, membuat Kaka sedikit demi sedikit tergusur dari tim inti. Ditambah lagi sinarnya seorang Ronaldo juga semakin mentereng di Madrid, membuat Kaka semakin dilupakan.
Faktor-faktor tersebut pada akhirnya membuat karier Kaka bersama raksasa Spanyol ini tidak berjalan mulus. Harapan terhadap dirinya agar tetap mampu menunjukkan kemapuan seperti di Milan tidak pernah terwujud.
Hingga akhirnya pada 2013, Kaka memutuskan untuk kembali ke Milan. Walaupun pada saat bersamaan Madrid mendatangkan pelatihnya ketika di Milan, Carlo Ancelotti, kembalinya Kaka ke San Siro tidak bisa dicegah.
Menghabiskan Sisa Kariernya di MLS
Kembalinya Kaka ke Milan ternyata tidak membuat kariernya membaik. Ia gagal mengangkat Milan yang sedang terpuruk ketika itu. Ia pun hanya bertahan selama semusim saja di kesebelasan yang membesarkan namanya tersebut.
Pada 2014 ia memutuskan pindah ke Amerika Serikat untuk bermain di MLS bersama Orlando City. Kaka sepertinya sadar, dengan usianya yang semakin menua sebagai pesepakbola, kariernya tidak lama lagi akan berakhir.
Meninggalkan keras dan gemerlapnya sepakbola Eropa dan pindah ke Amerika Serikat adalah pilihan yang bijak.
Di Orlando, ia bisa bermain lebih santai. Tekanan kepada dirinya tentu tidak akan seberat saat ia bermain di Eropa sehingga ia bisa menemukan kembali penampilan terbaiknya. Keputusan ini pun terbukti membuahkan hasil yang cukup baik dengan sempat beberapa kali ia kembali dipanggil ke timnas Brasil.
Karier Kaka sebagai pesepakbola sangatlah cemerlang jika dilihat dari gelar yang pernah ia raih. Bisa dikatakan semua gelar bergengsi yang ada di sepakbola sudah ia raih. Gelar juara Serie A, La Liga, Liga Champions dan Piala Dunia bersama timnas Brasil adalah buktinya.
Selain itu, untuk penghargaan individu, ia sudah pernah meraih gelar pemain terbaik dunia FIFA dan Ballon d'Or. Sebuah bukti yang menunjukkan bahwa kariernya cukuplah sempurna dari raihan gelar.
Namun, tetap saja ada ketidaksempurnaan menghampiri seorang Kaka. Namanya sebagai salah satu pemain terbaik dunia terbilang cukup cepat menghilang dari hingar-bingarnya sepakbola. Tercatat sejak pindah dari Milan pada 2009, kariernya sedikit demi sedikit semakin meredup. Padahal ketika meninggalkan Milan, ia sedang berada di usia emas seorang pesepakbola, 29 tahun. Tapi, faktor cedera dan ketidakcocokan dengan taktik pelatih membuat penampilannya harus menurun lebih cepat.